Menurut Giampietro dan Mayumi (2009) dalam buku The Biofuel Delusion, pengembangan energi biofuel dengan skala besar akan sulit menuai kesuksesan di negara-negara berkembang. Dari pernyataan tersebut, maka selain pengembangan pelet kayu skala besar untuk pemenuhan energi listrik, perlu juga dikembangkan pelet kayu sebagai sumber energi dalam lingkup rumah tangga, seperti untuk keperluan memasak.
Mewujudkan pelet kayu sebagai sumber energi rumah tangga boleh jadi akan lebih mudah dalam proses adopsi dan adaptasinya. Seperti diketahui, masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan penggunaan kayu bakar untuk memasak. Banyak pendapat dari masyarakat tradisional bahwa memasak dengan kayu bakar selain hemat dan tersedia di lingkungannya, juga memberi cita rasa yang khas pada masakannya. Meskipun terdapat efek negatif berupa asap yang mengepul, namun hal ini tidak akan ditemui pada pelet kayu karena tingkat abunya yang rendah jika dikonversi dengan teknologi yang tepat.
Menurut Penelitian Puslitbang Kehutanan (2007), konsumsi masyarakat akan kayu bakar dan pertukangan berkisar antara 0,36-4,89 m3/kapita/tahun. Pola permintaan kayu bakar oleh rumah tangga dipengaruhi oleh harga kayu bakar, pendapatan, jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah keluarga. Selain itu kenaikan harga BBM juga turut meningkatkan permintaan KB
Melihat data tersebut, pengenalan pelet kayu sebagai sumber energi rumah tangga haruslah memperhatikan karakteristik masyarakat dalam menggunakan kayu bakar selama ini. Pelet kayu harus didistribusikan secara efisien sehingga harga pada tingkat masyarakat masih dalam jangkauan. Selain itu, proses adopsi dan adaptasi tersebut harus dilakukan dengan pendekatan teknologi dimana perlu diciptakan tungku sederhana yang dapat digunakan dengan mudah oleh masyarakat.
Beberapa model pemanfaatan tungku berbahan bakar biomassa secara tradisional sudah sangat dikenal oleh masyarakat. Namun sebagian masyarakat meninggalkannya dengan alasan asap yang mengepul dan abu yang mengotori rumah. Untuk itu yang diperlukan saat ini adalah memperbaiki teknologi tungku/kompor yang digunakan biomassa tersebut. Salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan kompor gasifikasi biomassa.
Gambar 2. Tungku Tradisonal
Pengertian dari gasifikasi sendiri adalah proses konversi secara termal bahan bakar padat seperti batubara dan biomassa menjadi bahan bakar gas. Pada proses gasifikasi ini, biomassa dibakar dengan udara terbatas, sehingga gas yang dihasilkan sebagian besar mengandung hidrogen, karbonmonoksida, dan metana. Gas-gas tersebut kemudian direaksikan lagi dengan oksigen (diperoleh dari udara) sehingga dihasilkan panas dari pembakaran tersebut.
Keuntungan proses gasifikasi ini adalah dapat digunakannya biomassa yang mempunyai nilai kalor relatif rendah dan kadar air yang cukup tinggi. Efisiensi yang dapat dicapai dengan teknologi gasifikasi sekitar 30-40 % lebih tinggi dari teknologi pembakaran biasa. Beberapa metode gasifikasi telah dikembangkan seperti unggun tetap (fixed bed) dan fluidisasi (fluidized bed). Tipe unggun tetap ada dua jenis yaitu updraft dan downdraft. Pada tipe updraft aliran biomassa dari atas ke bawah sedangkan udaranya dari bawah ke atas, sedangkan tipedowndraft aliran biomassa dan udara dari atas ke bawah. Pada tipe fluidized bed ada dua jenis yaitu bubling fluidized bed (BFB) dan circulating fluidized bed (CFB). Beberapa faktor akan berpengaruh terhadap proses gasifikasi biomassa diantaranya: kandungan energi, kadar air, dimensi dan bentuk, distribusi dimensi, dan temperatur reaksi.
Gambar 3. Kompor gasifikasi dan nyala apinya yang dikembangkan oleh Universitas Janabadra Yogyakarta (adopsi dari Kompor Belonio)
Gambar 4. Kompor Belonio dengan Dua Tungku yang Bersih dan Praktis
Salah satu desain kompor gasifikasi biomassa adalah tungku/kompor Belonio. Kompor ini merupakan dari hasil rancangan Alexis Belonio, seorang Profesor di Central Philippine University yang menerima penghargaan Rolex Award atas usahanya menemukan dan mempromosikan teknologi kompor sekam padi. Kompor ini dapat menggunakan sekam padi sebagai bahan bakarnya. Kompor ini terdiri dari beberapa bagian yaitu burner, reaktor gasifikasi, penampung abu, dan blower/kipas. Fungsi blower untuk mensuplai udara ke dalam reaktor. Proses gasifikasi terjadi di dalam reaktor, kemudian gas yang dihasilkan dibakar diburner. Pada bagian ini terdapat lubang-lubang udara sebagai suplai tambahan untuk proses pembakaran. Karena tidak semua sekam terbakar, artinya ada abu yang tersisa, maka pada bagian bawah diberi penampung abu. Lamanya kompor ini berkerja tergantung dari ukuran reaktor sebagai wadah bahan bakarnya.
Hasil pembakaran dengan kompor ini relatif bersih dan apinya berwarna biru. Hasil pengujian menggunakan bahan bakar lain seperti kayu, briket dan arang kayu juga memberikan hasil yang sama baiknya. Pelet kayu juga tentunya akan menghasilkan pembakaran yang lebih baik karena mempunyai karekteristik yang lebih baik dari sekam padi maupun kayu bakar yaitu bentuknya yang seragam dan kadar air yang rendah memudahkan aliran mekanis dalam proses gasifikasi.
Tungku-tungku seperti Tungku Belonio tersebut sudah saatnya diperkenalkan dan dikembangkan di masyarakat. Selain ramah lingkungan, sentuhan teknologi pada tungku tersebut akan lebih mudah diterima oleh masyarakat menengah ke atas karena relatif bersih dan praktis dalam penggunannya seperti penggunaan kompor gas. Masyarakat kelas menengah ke atas pun cukup sensitif dengan faktor kebersihan dan kesehatan. Sehingga unsur teknologi dan pengenalan yang masif kepada masyarakat sangat diperlukan dalam pengembangan sumber energi pelet kayu. Tungku belonio dan distribusi pelet kayu dengan kemasan kantong plastik yang rapi dan menarik menjadi solusi agar pelet kayu dapat diterima oleh masyarakat. Jika proses adopsi dan adaptasi penggunaan pelet kayu sebagai sumber energi rumah tangga ini berjalan dengan baik, maka penggunaan minyak tanah dan gas yang saat ini mendominasi kebutuhan rumah tangga akan disubstitusi oleh pelet kayu yang lebih ramah lingkungan dan membantu meningkatkan ketahanan energi Indonesia.
Secara umum, terkait dengan besarnya potensi pengembangan energi biomassa di Indonesia, maka dalam proses pengembangannya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Pasar yang kompetitif perlu diciptakan sehingga sumber energi biomassa memiliki ruang untuk berkembang dan diterima oleh masyarakat
- Pengembangan sumber energi biomassa harus diintegrasikan dengan kebijakan terkait dari sektor energi, lingkungan, pertanian, dan kehutanan, sehingga terjadi insentif yang merangsang pertumbuhan dari semua sektor yang diintegrasikan.
- Kebijakan yang dibuat harus berjangka panjang untuk merangsang investasi
- Pengembangan energi dari biomassa perlu didukung teknologi konversi yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
- Pengembangan kompor gasifikasi secara masif perlu dilakukan untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap sumber energi biomassa pada lingkup rumah tangga.
Untuk itu, pengembangan energi dari biomassa yang berkesinambungan secara ekonomi, lingkungan dan sosial, harus pula memperhatikan beberapa kriteria berikut:
- Biomassa yang digunakan harus berasal dari sumber yang dapat diperbaharui yang dikelola dengan manajemen yang berkelanjutan.
- Biaya-biaya proses harus dijaga rendah untuk memastikan efisiensi ekonomi.
- Bahan input lain yang dipergunakan dalam rantai teknologi konversi yang berasal dari sumber yang tidak dapat diperbaharui harus tetap rendah untuk menekan tingkat emisinya dan dengan tetap menggunakan teknologi konversi terbaik.
- Rancangan pengembangan bioenergi harus bermanfaat bagi pembangunan masyarakat secara luas
Sumber : aguraforestry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar